Thursday, October 14, 2010

Ketika Tidak Boleh Menyerah

Salah satu pengalaman berharga yang saya alami dalam dunia manufaktur adalah ketika hampir menjumpai jalan buntu. Sesuatu yang paling ditakuti oleh semua orang, termasuk insinyur manufaktur. Desain dan prototype yang sudah disetujui bersama, ternyata hampir gagal dalam tahap manufaktur.

Desain benda kerja yang demikian complicated, membuat hampir semua relasi yang kami sodori menggelengkan kepala. Padahal, relasi tersebut kebanyakan adalah ahli dan pakar dalam pembuatan benda kerja sejenis, yakni tangki bahan bakar motor. Memang desain tangki ini relatif unik, namun, unik tidaknya bagi insinyur manufaktur tidaklah terlalu penting, yang jelas benda kerja tersebut harus dapat dipabrikasi.


Titik terang mulai nampak ketika seorang relasi menyatakan kesanggupannya dalam membuat cetakan tangki tersebut. Namun alangkah terkejutnya kami ketika mengetahui dana yang dibutuhkan ternyata mahal sekali, hampir lima kali dari budget yang disediakan oleh perusahaan kami.

Saat itu “menyerah”hampir menjadi kata pasti, seandainya kami tidak berpikir bahwa kegagalan me-manufaktur tangki ini berarti kegagalan bagi seluruh perusahaan. Ya. Tangki ini harus berhasil di-manufaktur ! Harus ! Tidak boleh tidak !


Akhirnya, tim manufaktur tangki ini harus bekerja lebih keras untuk menemukan solusinya. Pertama – tama kami harus bisa menarik garis filosofi tentang pembuatannya secara hand-made. Hand-made dalam konsep orang manufaktur tentulah berbeda dengan hand-made seorang desainer. Paradigma permesinan selalu kami sertakan dalam main-frame cara kerja hand-made kami. Apabila tidak memungkinkan untuk dikerjakan dengan mesin, kami harus mencari solusi proses hand-made yang kelak bisa dikerjakan oleh mesin. Ini prinsipnya.


Setahap demi setahap, setiap proses demi proses, kami lakukan dengan ‘hand-made’ dalam kerangka pikir manufaktur. Tahap pertama adalah menemukan titik kunci pembuatan dan proses pencetakannya. Yang semula bisa dikerjakan dengan dana yang berlipat, pada akhirnya kami menemukan metodologi utamanya, sehingga kami bisa mereduksi kelipatan budget tersebut. Yang semula menurut relasi kami harus dikerjakan dengan 14 cetakan, kami bisa mengerjakan dengan tiga cetakan, yang tentunya harga cetakannya jauh lebih murah. Namun dengan tiga cetakan, bisa dibayangkan bila tingkat kerumitan proses mencetaknya menjadi sangat luar biasa ketat. Inilah yang harus kami bayar. Namun, bukan berarti hal tersebut tidak bisa.


Setelah itu tahap pengelasan. Proses ini tidak kalah sulit dengan proses pembuatan cetakan dan pencetakannya itu sendiri. Urutan prosesnya harus kami data satu - persatu, dan bila terjadi kesalahan maka kami harus mengulangnya dari depan. Dengan perjuangan berat akhirnya benda kerja yang sulit tersebut bisa lahir. Sungguh sebuah benda kerja yang terlahir dengan memeras otak dan keringat.Yang membuat saya terkesan adalah ketika saya mendapat gelar “Maestro Tangki” dari pimpinan kerja. Saya sungguh bangga dengan gelar ini.


Tak kalah susah adalah tahap perakitan. Dengan sedemikian complicated konturnya, dengan banyaknya mounting, dan banyaknya komponen yang terkait langsung dengan benda kerja tersebut, membuat proses perakitannya tidak mudah.

Sekali lagi, tidak boleh menyerah. Dengan semangat tersebut akhirnya jadilah satu - persatu unit lengkap, kendaraan berikut tangki-nya.


Namun tidak berhenti sampai disini. Kapasitas yang sedemikian rendah pada tahap semi ‘hand made’ ini tentunya bukan harus dibiarkan. Harus dicari cara agar kapasitasnya bisa ditingkatkan, dengan metodologi manufaktur yang benar, tanpa harus ada proses ‘hand made’ yang sedemikian mendominasi.

Saya tak hendak berkisah lebih panjang lagi. Yang jelas, dengan semangat pantang menyerah, akhirnya tunai sudah tugas tersebut. Manufaktur tulen. Sebuah tugas yang membuktikan pada diri saya, bahwa semangat pantang menyerah menjadi keharusan bagi seseorang yang ingin mewujudkan harapannya. [] hf

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home